Kamis, 17 Maret 2011

PAPAN SELANCAR DARI SAMPAH

Image: Spirare Surfboards
 
Peselancar dan pendiri Spirare Surfboards, Kevin Cunningham mengaku kesal dengan banyaknya sampah yang betebaran di laut saat ia tengah asik berselancar. Ia kemudian memutuskan melakukan sesuatu dengan sampah-sampah ini. Lahirlah Spirare Sustainable Surf Craft, papan surfing yang terbuat dari sampah.
 
Papan selancar karya Cunningham ini tidak hanya membantu mendaur ulang sampah-sampah yang ada di laut, tapi juga membuat para peselancar bisa ikut menerapkan gaya hidup ramah lingkungan
 
“Sampah-sampah manusia seperti plastik dan kaca didaur ulang dan dibentuk menjadi papan. Tas-tas plastik ditenun untuk memperkuat sirip. Sementara botol bekas dibentuk menjadi sirip, dan masih banyak yang bisa dikembangkan lagi,” kata  Cunningham. 

Cunningham sudah memproduksi seri pertama secara terbatas dan dipamerkan di galerinya. Rencananya 100 papan surfing akan dijual berdasarkan pesanan. Namun sebelum bisa dipasarkan lebih luas, Cunningham membutuhkan bantuan dana.

Ia meluncurkan program penggalangan dana yang disebut Kickstart campaign, ia berusaha mengumpulkan 3500 dolar hingga pertengahan April, saat ini Cunningham sudah berhasil mengumpulkan setengahnya. Para peyumbang akan mendapatkan kaos Spirare, stiker dan tas. 

 

WADAH MAKANAN ANDA SEHAT!?

Karena ingin sehat dan ramah lingkungan, seringkali seseorang membawa wadah makanan sendiri. Namun, sering terjadi, wadah makanan yang digunakan tidak sehat sehingga mengakibatkan sakit perut atau diare. Jika demikian, perlu diperiksa, wadah makanan yang kita miliki, apakah sehat atau tidak? Menurut Emilia Ahmadi, pakar nutrisi dari Health Coach, sebaiknya tidak menggunakan wadah yang sembarangan. ”Ada baiknya jika membeli agar teliti, apakah wadah makan itu baik atau tidak? Dan sebaiknya terbuat dari kaca atau stainles sehingga tahan terhadap panas dan dingin,” kata Emilia pada Green Radio. Ia tidak menyarankan untuk menggunakan wadah makanan yang terbuat dari plastik atau melamin. ”Dan jangan beli di sembarang tempat yang tidak menjamin kualitasnya,” tambah Emilia.
Soal kebiasaan menggunakan wadah makanan, menurut Ivan Jasadipura dari Komunitas Satu Hari Kotak Makan, sebaiknya dilakukan mulai dari rumah. ”Karena dengan kebiasaan itu kita bisa mengurangi sampah dari makan yang kita bawa dan tentu saja kesehatan terjamin,” tandasnya.

Tips memilih wadah makanan plastik yang aman : * Pikirkan harganya. Jika harganya murah dan tak wajar, patut dicurigai keamanan penggunaan barang tersebut.
* Endus baunya. Jika ada aroma tertentu, misalnya wangi parfum buatan atau ada bau tengik, sudah pasti proses pembuatannya tak sempurna.
* Ketika dicuci, biasanya produk plastik tersebut akan berbuih lebih banyak dan sulit bersihnya. Ini terjadi karena proses pembuatannya tak sempurna, sehingga rongga plastiknya belum sempurna, dan tidak tertutup rapat.
* Jeli baca tanda produk yang aman untuk makanan.

Kamis, 03 Maret 2011

SORGHUM BAHAN MAKAN "FAST FOOD"

Peneliti dari Badan Tenaga Atom Nasional (Batan), Ir. Suharyono M.Rur. Sci., kini tengah mengembangkan fast food untuk ternak. Bahan dasar dari fast food tersebut adalah sorghum, jenis tanaman serealia yang bisa tumbuh di lahan kering.

Untuk membuatnya, sorghum terlebih dahulu dibuat menjadi silase. Dalam prosesnya, sorghum dipotong-potong menjadi lebih pendek, kemudian dimasukkan dalam wadah kedap udara dan difermentasi.
"Setelah jadi silase, lalu ditambahkan biosuplemen dan bahan-bahan lain sebagai media," kata Suharyono yang merupakan peneliti nutrisi ternak Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional.

Sorghum yang menjadi bahan dasar pembuatan fast food ini diketahui lebih bernutrisi dari jenis pakan lain seperti rumput gajah. Salah satu indikatornya, sorghum memiliki kandungan protein yang lebih tinggi, yakni 10-12%. Selama ini, sorghum yang diberikan pada ternak berupa silase dan sorghum segar yang telah dipotong-potong.

Diketahui, sorghum juga adalah pangan ternak yang sangat potensial untuk diberikan pada sapi. Fast food untuk ternak ini kini tengah dikembangkan namun wujudnya nanti belum bisa diketahui. Suharyono mengungkapkan, dengan fast food ini, diharapkan penggunaan sorghum lebih meluas dan ternak pun mendapatkan nutrisi yang lebih baik.

Lalu, dimana peran teknologi isotop dan radiasi dalam pengembangan pakan ternak ini? "Dengan isotop, kita bisa tahu apakah pakan itu bagus bagi ternak dengan melihat jumlah fosfor yang terserap. Dengan radiasi, kita bisa tahu logam berat dan mineral yang terdapat di bahan pakan," kata Suharyono.

Sorghum adalah tanaman yang bisa dimanfaatkan biji, batang dan daunnya. Selain bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak, tanaman ini juga punya potensi sebagai bahan pangan manusia. Jenis serealia ini bisa ditanam di lahan kering sehingga bisa jadi alternatif bagi penduduk dimana padi, jagung atau gandum sulit dibudidayakan.

SERANGGA MASA DEPAN MANUSIA

Untuk mencapai kondisi nyaman bagi manusia, bumi butuh proses miliaran tahun. Namun, zona nyaman itu kini bergeser. Suhu bumi meningkat seiring kenaikan konsentrasi karbon di atmosfer, dampak aktivitas manusia modern. Dan, organisme yang paling cocok dengan bumi yang berubah ini ternyata dari keluarga serangga, bukan manusia.

Memang tak semua serangga sanggup bertahan terhadap perubahan iklim. ”Kebanyakan yang terancam adalah serangga predator yang berguna untuk manusia. Selain itu, juga serangga yang makannya spesifik, seperti lebah,” kata Warsito, ahli serangga dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sebaliknya, serangga kosmopolit—yang kebanyakan pembawa penyakit, baik terhadap tanaman maupun manusia—akan mengalami ledakan populasi.
Penelitian Ellen Currano dari Pennsylvania State University dalam jurnal Ecological Society of America edisi November 2010 menemukan, kenaikan suhu global masa lalu memicu ledakan populasi dan keragaman serangga pemakan daun. Ellen meneliti 9.071 fosil daun di sembilan lokasi basin Bighorn, Wyoming, Amerika Serikat. Fosil itu terbentuk 52,7 juta-59 juta tahun lalu saat konsentrasi karbon dioksida (CO) di bumi meningkat.
”Saat suhu bumi naik, kira- kira 60 juta tahun lalu, serangga tropis dan subtropis bermigrasi jauh ke utara. Sangat mungkin pemanasan global kini memicu lagi ledakan populasi dan sebaran serangga,” katanya.

Kenapa ledakan serangga terjadi seiring kenaikan suhu? Warsito menjelaskan, pemanasan global karena penambahan konsentrasi karbon menyebabkan serangga pemakan tanaman kian lapar. Peningkatan konsentrasi CO menurunkan perbandingan unsur nitrogen dalam tumbuhan. Padahal, nitrogen mutlak untuk hidup serangga. Kompensasinya, serangga akan memakan biomassa tumbuhan yang lebih banyak.
Namun, karena siklus hidup serangga memendek, kebutuhan makanan itu tetap tak terpenuhi. Ukuran serangga pun mengecil daripada di suhu dingin.

Penelitian Warsito tentang lalat pengorok daun Liriomyza huidobrensis menunjukkan, serangga jenis ini yang ada di dataran rendah dan bersuhu lebih panas berukuran lebih kecil dibandingkan sejenisnya di dataran tinggi. Ukuran mengecil, tetapi sebarannya meluas. Liriomyza huidobrensis yang baru masuk Indonesia tahun 1990-an dan hanya ditemukan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, menyebar cepat ke sejumlah daerah.

Lebih adaptif
Di tengah perbincangan meningkatnya suhu bumi dan ancaman perubahan iklim bagi banyak spesies, sejauh ini serangga yang paling siap beradaptasi. Rekam jejak keunggulan serangga jauh lebih tua dari spesies manusia.

Pendeknya, siklus hidup serangga membuatnya cepat mewariskan genetika paling sesuai kondisi iklim kontemporer pada keturunannya. Kegagalan pemberantasan hama serangga dengan pestisida menjadi contoh kemampuan serangga menjadi kebal terhadap perubahan sekitar, bahkan terhadap racun.
Tanda-tanda invasi serangga hama terhadap sumber pangan, dilaporkan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), telah mengancam ketahanan pangan dunia. Di Indonesia, beberapa peneliti memperingatkan itu.

Direktur Klinik Tanaman Institut Pertanian Bogor Suryo Wiyono menunjukkan, perubahan iklim memicu ledakan hama dan penyakit tanaman. Tiga tahun terakhir, ia menemukan peningkatan tajam penyakit kresek padi karena bakteri Xanthomonas oryzae pv Oryzae, virus gemini pada cabai dan tomat yang dibawa, serta hama thrips cabai.

Suryo juga menemukan penyebaran Xanthomonas hingga wilayah pegunungan. Hampir semua penyakit itu dibawa serangga vektor, misalnya virus gemini yang dibawa kutu kebul.
Andi Trisyono, Ketua II Komisi Perlindungan Tanaman Nasional yang juga Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada, menemukan fakta, serangan wereng coklat terhadap sentra tanaman padi meningkat pesat. Itu diyakininya terkait perubahan iklim.

Andi memperkirakan serangan ini akan terus meningkat pada tahun-tahun mendatang. Kondisi itu diperparah kekeliruan penanganan berupa penyemprotan pestisida secara berlebih, yang justru membuat serangga predator wereng coklat mati. Di sisi lain, wereng coklatnya kian kebal pestisida.

Fenomena nyamuk
Selain bertambahnya intensitas serangan dan wilayah sebaran terhadap tanaman sumber bahan pangan manusia, penyakit menular yang dibawa serangga, seperti malaria dan demam berdarah, juga meluas.
”Hingga sepuluh tahun lalu, nyamuk tidak ditemukan di daerah tinggi, seperti Puncak, Jabar. Namun, kini di Puncak sudah banyak nyamuk, bahkan sudah ditemui kasus demam berdarah,” kata Warsito.
Pertanyaannya, apakah penyebaran nyamuk ke dataran tinggi itu hanya karena kenaikan suhu? Atau mungkin juga dipicu perubahan perilaku dan morfologi nyamuk itu sendiri? Pertanyaan itu sulit dijawab.
Menurut Warsito, ”Hingga saat ini kita belum memiliki penelitian yang serius soal ini. Penelitian soal serangga masih sangat minim, terutama kaitannya dengan perubahan iklim.”

Namun, sekali lagi, penelitian Warsito terhadap Liriomyza huidobrensis menjelaskan, serangga telah beradaptasi dengan kenaikan suhu melalui pengecilan tubuh sehingga mampu terbang lebih jauh. ”Serangga, termasuk nyamuk, sudah mengubah perilakunya dan juga morfologinya. Namun, cara kita meng-atasinya belum berubah,” katanya.
Banyak negara, ujarnya, kini intensif meneliti serangga karena khawatir dengan ancaman ledakan populasi dan sebarannya. Negara-negara subtropis khawatir terhadap migrasi serangga dari daerah tropis, khususnya nyamuk pembawa malaria.

Memakan serangga
Kabar buruknya, sejauh ini belum ada solusi praktis untuk masalah ledakan serangga. Negosiasi global untuk menurunkan emisi karbon di muka bumi seperti menemukan jalan buntu dan disikapi sebagai business as usual. Panel Ahli Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang ketiga memperkirakan, suhu bumi akan terus naik. Tahun 2100, penambahannya diperkirakan hingga 5,8 derajat celsius dibandingkan dengan tahun 2000.

Jika sudah begitu, saran Profesor Arnold van Huis, entomologis dari Wageningen University di Belanda, agar manusia mulai membiasakan diri memakan serangga sepertinya masuk akal. Salah seorang konsultan ahli FAO itu menyarankan agar manusia mulai mengubah perilaku dari mengonsumsi daging sapi ke serangga.

”Saat ini terjadi krisis daging,” ujarnya. ”Populasi manusia di dunia tumbuh dari 6 miliar (jiwa) pada saat ini menjadi 9 miliar (jiwa) pada tahun 2050 dan kita tahu manusia akan makan lebih banyak daging,” katanya sebagaimana dilaporkan The Guardian.

Padahal, masa depan bumi ditandai dengan ledakan serangga.

Di Indonesia, kebiasaan sebagian masyarakat Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mengonsumsi belalang atau masyarakat Papua dan Mentawai, Sumatera Barat, yang mengonsumsi larva serangga di batang sagu barangkali akan menjadi perilaku yang lebih umum pada masa mendatang. Sudah siapkah Anda?

RESTORASI HUTAN TERHAMBAT

Moratorium hutan melalui proyek restorasi ekosistem terhambat oleh aktivitas perambahan liar lebih dari 5.000 warga maupun pendatang dalam Hutan Harapan di perbatasan Jambi-Sumatera Selatan.
 
"Kami cukup kewalahan mengatasi maraknya aktivitas perambahan," ujar Yusuf Cahyadin, Direktur PT Restorasi Ekosistem selaku pemegang izin kelola restorasi hutan seluas 101.000 hektar tersebut, Rabu (3/3/2011).

Menurut Yusuf, sebelum pihaknya memperoleh izin pada 2010, aktivitas perambahan liar sudah sangat marak. Hasil citra satelit di kawasan hutan ini menunjukkan pembukaan tutupan hutan sejak lima tahun terakhir mencapai hampir 20 persen, atau sekitar 13.337 hektar. Perambahan paling marak terjadi pada tahun 2007 seluas 6.300 hektar, untuk penanaman sawit.

Ditambahkan Yusuf, sebagian kecil perambah adalah komunitas suku Bathi IX yang memang telah lama hidup dan membuka ladang dalam kawasan hutan tersebut. Namun, belakangan ini pihaknya mendapati sebagian pelaku adalah para perambah yang telah teroganisir dan didalangi oknum-oknum pejabat daerah, wakil rakyat, maupun aparat penegak hukum. Aktivitas perambahan dengan cepat meluas. Dalam upaya penanganan aktivitas ilegal tersebut, petugas keamanan setempat kerap menuai ancaman balik dari pelaku.

Yusuf melanjutkan, kondisi ini telah mengakibatkan molornya rencana pengembangan ekowisata dan jasa perdagangan karbon dalam hutan restorasi. "Kami semula menjadwalkan ekowisata sudah bisa di mulai tahun 2015, tapi dengan beratnya penanganan perambahan, kemungkinan target ini bakal molor," ujarnya.

Sejauh ini pihaknya telah mengupayakan pendekatan pada masyarakat suku anak dalam dan desa setempat. "Mereka dirangkul untuk ikut mengelola sumber daya non kayu dalam hutan. Selain itu, pihaknya melibatkan masyarakat untuk mengadakan pembibitan tanaman keras dan buah-buahan . Kami targetkan 2,5 juta bibit setiap tahunnya ditanam dalam hutan," kata Yusuf.

Program restorasi ekosistem dalam Hutan Harapan berlokasi di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan 52.170 hektar, serta Kabupaten Batanghari dan Kabupaten Sarolangun, Jambi, seluas 48.180. PT Konsorsium BirdLife- gabungan dari Royal Society for The Protection of Birds, Burung Indonesia, dan Birdlife International-merupakan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) restorasi Hutan Harapan. Kawasan tersebut produksi eks HPH PT Asilog dan Inhutani V tersebut dikelola untuk penghutanan kembali.

Terdapat hampir 30 gajah sumatera, 20 harimau sumatera, tapir, burung rangkong, serta sejumlah jenis satwa liar dilindungi dalam Hutan Harapan. Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Jambi Tri Siswo mengatakan, ancaman akan konflik satwa liar dan manusia di kawasan ini juga tinggi. Aktivitas pembukaan lahan pada hutan tanaman industri sekitar Hutan Harapan misalnya, dikhatirkan bakal mengganggu habitat gajah.

Terkait itu, pihaknya menawarkan sejumlah perusahaan terkait untuk ikut menjaga jalur perlintasan satwa ini. "Koridor gajah kita kembangkan, dan perusahaan yang berkomitmen, akan memperoleh keuntungan apabila ekowisata telah berjalan," kata Tri Siswo.

RAYAKAN "EARTH HOURS" - 26 MARET 2011

Perayaan "Earth Hour" tahun ini akan jatuh pada tanggal 26 Maret 2011. Earth Hour merupakan sebuah gerakan untuk mematikan lampu dan alat elektronik selama 1 jam, mulai pukul 20.30-21.30 waktu setempat untuk meningkatkan kepedulian tehadap Bumi.

Kampanye global ini didukung banyak pihak termasuk pengelola hotel Sheraton Media Hotel & Towers. Hotel di Jakarta itu mengajak merayakan Earth Hour dengan lebih romantis. Dalam waktu yang ditentukan, Sheraton Media Hotel & Towers mengajak merayakan Earth Hour dengan "Romantic Candle Lit Dinner : Go Dark for Good Cause". Dalam acara itu, pengunjung akan diajak makan malam dalam kegelapan, tanpa cahaya lampu satu pun.

Dalam makan malam itu, pengunjung akan diberi suguhan hidangan berbahan organik dan dihibur dengan hiburan ramah lingkungan berupa musik akustik tanpa listrik. Selain itu, sebagian dana hasil makan malam akan disumbangkan pada WWF Indonesia untuk mendukung program konservasi dan pengembangannya.

General Manager hotel tersebut Julius Slamet mengatakan, "Kami tidak hanya mematikan lampu, tetapi juga tak menggunakan bahan bakar seperti gas. Bayangkan kalau semua melakukannya, berapa yang bisa dihemat," Julius mengatakan, ke depan Earth Hour juga bisa dikembangkan menjadi satu jam tanpa air.

Sheraton Media Hotel & Towers telah merayakan Earth Hour ketiga tahun ini. Dari perayaan tahun lalu, Julius mengatakan bahwa energi listrik yang berhasil dihemat adalah 150 KW. Dikatakan, hotel ini ini juga akan memberikan insentif bagi karyawannya yang mampu melakukan penghematan listrik terbesar.

Nyoman Nyoman Iswarayoga, Director Climate and Energy Program WWF Indonesia mengatakan, dana yang terkumpul dipakai untuk mengembangkan tenaga listrik mikrohidro. "Tempatnya di Desa Harowu, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah. Kapasitasnya nanti 15 KW, melayani 60 KK. Dana yang dibutuhkan sekitar Rp 1,5 miliar."

KOLAM HIJAU DI KUTUB SELATAN

Sebuah kolam yang dipadati kehidupan ditemukan di antara es di Kutub Selatan. Kolam yang dikelilingi es warna putih tersebut berisi air berwarna hijau sehingga terlihat mencolok dibanding perairan sekitarnya. Kata para ilmuwan, inilah anugerah pemanasan global.

Menurut mereka, kolam di daerah terpencil itu berwarna hijau akibat klorofil dari ganggang yang terdapat di situ. Di kolam itu pula didapati krustasea kecil, ikan, larva udang.
"Ini kolam terhijau yang pernah saya lihat," kata Patricia Yager, kepala ilmuwan Amundsen Sea Polynya International Research Expedition (ASPIRE). Yager mengutarakan kalau jumlah klorofil per liter di kolam itu lima kali lebih banyak dibandingkan beberapa tempat di Sungai Amazon.

Kolam yang dikelilingi oleh es laut seperti ini sering disebut dengan istilah polynya. Perairan seperti ini biasanya kaya nutrisi dan menjadi tempat bernaung bagi binatang, baik besar maupun kecil. Demikian jelas Yager.
Polynya bisa terbentuk dengan dua alasan: angin yang meniup bongkah es menjauh dari pantai dan udara atau air hangat mencairkan es. Ketika es mencair, nutrisi turut terlepas ke laut. Nutrisi yang kebanyakan penting bagi tumbuhan itu membuat ganggang berkembang.

"Ketika gletser dan es laut di bagian barat Kutub Selatan mencair karena pemanasan global, lebih banyak nutrisi yang mengalir ke lautan dan membuat ganggang berkembang semakin luas," Yager menjelaskan.
Menurut Yager, ledakan jumlah ganggang ini bisa jadi anugerah karena ganggang melahap karbon dioksidad akibat efek rumah kaca. "Tapi ini baru satu sisi," katanya.

Ia mengatakan kalau ganggang menjadi makanan bagi zooplankton yang melepaskan karbon dioksida ke atmosfer saat bernapas. Yager juga menyebutkan bakteri yang mengurai ganggang mati dan mengubah karbon menjadi karbon dioksida.

Meskipun demikian, untuk saat ini, kolam polynya merupakan hal yang baik bagi iklim Bumi karena mereka memerangkap karbon. "Tapi hanya itu saja," kata Lisa Miller, ahli biologi kelautan dari Fisheries and Oceans Canada. 

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Powered by Blogger